MANAJEMEN
STRUKTUR MODAL
1.
Pendekatan NI,
NOI, Tradisional
A.
Pendekatan laba
bersih (Net Income) mengasumsikan bahwa investor
mengkapitalisasi atau menilai laba perusahaan dengan
tingkat kapitalisasi yang konstan dan perusahaan dapat meningkatkan jumlah
utangnya dengan biaya utang yang konstan pula. Karena biaya modal saham dan
biaya utang adalah sama, maka semakin besar utang yang digunakan perusahaan,
biaya modal rata-rata tertimbang akan semakin kecil. Jika biaya modal rata-rata
tertimbang semakin kecil sebagai akibat penggunaan utang yang semakin besar,
maka nilai perusahaan akan meningkat. Persoalannya adalah apakah dalam
kenyataannya ada perusahaan dapat memperoleh pembiayaannya dengan 100% utang.
B.
Pendekatan laba
operasi bersih (Net Operating Income) mengasumsikan
bahwa investor memiliki reaksi yang berbeda terhadap
penggunaan utang oleh perusahaan. Pendekatan ini melihat bahwa biaya modal
rata-rata tertimbang adalah konstan berapapun tingkat utang yang digunakan oleh
perusahaan. Pertama, diasumsikan bahwa biaya utang konstan seperti
halnya dalam pendekatan Net Income. Kedua, penggunaan utang yang
semakin besar, oleh pemilik modal sendiri dilihat sebagai peningkatan risiko
perusahaan. Oleh karena itu tingkat keuntungan yang disyaratkan oleh pemilik
modal sendiri akan meningkat sebagai akibat meningkatnya risiko perusahaan oleh
utang. Konsekuensinya adalah biaya modal rata-rata tertimbang tidak mengalami
perubahan dan dalam situasi ini keputusan struktur modal menjadi tidak penting.
C.
Pendekatan tradisional
(Traditional Approach) diasumsikan dalam
pendekatan ini bahwa hingga satu leverage
tertentu, risiko perusahaan tidak mengalami perubahan, sehingga biaya modal
baik utang (Kd) maupun saham (Ke) relative konstan.
Tetapi setelah leverage atau rasio tertentu, biaya utang dan biaya modal
sendiri meningkat. Peningkatan biaya modal sendiri ini akan semakin besar dan
bahkan akan lebih besar daripada penurunan biaya karena penggunaan utang yang
lebih murah. Akibatnya biaya modal rata-rata tertimbang pada awalnya menurun
dan setelah leverage tertentu akan meningkat. Oleh karena itu nilai perusahaan
pada awalnya meningkat dan kemudian menurun sebagai akibat penggunaan utang
yang semakin besar. Dengan dimikian menurut pendekatan tradisional ini terdapat
suatu struktur modal yang optimal untuk setiap perusahaan.
2. Pendekatan teori MM tanpa pajak
A. Preposisi I
MM berpendapat bahwa nilai setiap perusahaan tidak
lain merupakan kapitalisasi laba operasi bersih yang diharapkan atau expected
net operating income ( NOI = EBIT ) dengan tingkat kapitalisasi ( Ko ) konstan
yang sesuai dengan tingkat resiko perusahaan
B. Preposisi
II
MM berpendapat bahwa biaya modal sendiri perusahaan
yang memiliki leverage adalah sama dengan biaya modal sendiri perusahaan yang
tidak memiliki leverage ditambah dengan premium resiko. Dimana besar kecilnya
resiko tergantung atas selisih antara biaya modal sendiri dan biaya utang
perusahaan yang tidak memiliki leverage dikalikan dengan besarnya utang.
C. Preposisi III
MM berpendapat bahwa perusahaan seharusnya
melakukan investasi proyek baru sepanjang nilai perusahaan meningkat paling
tidak sebesar iaya investasi.
Pendekatan teori MM bila ada pajak
A. Preposisi I
MM berpendapat bahwa nilai perusahaan yang memiliki
leverage sama dengan nilai perusahaan yang tidak memiliki leverage ditambah
dengan nilai perlindungan pajak. Adapun nilia perlindungan pajak ini adalah
sebesar pajak penghasilan perusahaan dikalikan dengan utang perusahaan.
B. Preposisi II
MM berpendapat bahwa biaya modal sendiri perusahaan
yang memiliki leverage adalah sama dengan biaya modal perusahaan yang tidak
memiliki leverage ditambah dengan premium resiko. Besarnya premium rsiko ini
tergantung atas besarnya utang dan selisih atas biaya modal sendiri perusahaan
yang tidak memiliki leverage dan biaya utang.
C. Preposisi III
Sama seperti dalam kondisi tidak ada pajak,
perusahaan seharusnya melakukan investasi sepanjang memenuhi syarat
IRR > Keu{1-T(D/V)}
IRR > Keu{1-T(D/V)}
Kesimpulan :
Pendekatan teori MM dengan adanya pajak penghasilan
perusahaan dan pajak pendapatan perseorangan.Pendekatan ini sama seperti
pendekatan-pendekatan terdahulu hanya saja pada pendekatan ini kita memasukkan
adanya nilai penghasilan perushaan dan pajak pendapatan perseorangan.
3. Pecking Order Theory
Pecking
order theory mengasumsikan bahwa perusahan bertujuan memaksimumkan kesejahteraan pemegang saham.
Perusahaan berusaha menerbitkan sekuritas pertama dari internal, retained
earning, kemudian utang berisiko rendah dan terakhir ekuitas (Myers, 1984 dalam
Perminas Pangeran, 2004). Pecking order theory memprediksi bahwa pendanaan
utang eksternal didasarkan pada defisit pendanaan internal.Model pecking order
theory memfokuskan pada motivasi manejer korporat, bukan pada prinsip-prinsip
penilaian pasar modal. Pecking order theory mencerminkan persoalan yang
diciptakan oleh asimetrik informasi. Dasar pemikirannya didasarkan pada
penjelasan berikut ini, (Meyers, 1984 dalam Perminas Pangeran, 2004) : Para
manejer mengetahui lebih banyak tentang perusahaan daripada investor luar,
namun mereka enggan untuk menerbitkan saham ketika percaya saham mereka adalah
undervalued. Investor memahami bahwa para manajer mengetahui lebih banyak dan
mereka mencoba menerbitkan sesuai waktu yang tepat.Para manejer
menginterpresentasikan keputusan untuk menerbitkan ekuitas sebagai bad news,
dan perusahaan dapat menerbitkan ekiutas hanya pada harga discount.Perusahaan
yang bekerja berdasarkan filosofi pecking order theory dan membutuhkan ekuitas
eksternal kemungkinan tidak akan memanfaatkan kesempatan investasi yang baik,
karena saham tidak dapat dijual pada “fair Price”.
Menurut
Myers (1996) dalam Saidi (2004) perusahaan lebih menyukai penggunaan pendanaan
dari modal internal, yakni dana yang berasal dari aliran kas, laba ditahan dan
depresiasi. Urutan penggunaan sumber dana dengan mengacu packing order theory
adalah internal fund (dana internal), debt (utang), dan equity (modal sendiri)
(Kaaro, 2003).
0 komentar:
Posting Komentar